Nama saya Albert. Saya orang Jakarta kelahiran Malang pada tahun 1988. Saya anak pertama dari dua bersaudara. Saya ingin berbagi pengalaman bekerja dalam bidang CCTV bersama PT GBL tahun 2011.
PENGALAMAN
Di tengah kesibukan kuliah, saya mengambil cuti dan membantu bos di PT GBL yang bergerak di bidang kamera pengawas –lebih banyak dikenal sebagai CCTV-. Maka pada tahun 2011 saya memutuskan untuk mencoba membantu bos; dulunya PT GBL ini memakai nama lain dan bergerak di bidang AC, dengan bengkel di daerah Kelapa Gading.
Di PT ini saya bekerja bersama lima orang lainnya. PT GBL menjual dua jenis CCTV: analog yang harus colok kabel dan simpan data langsung di DVR –alat berbentuk kotak untuk menyimpan data kamera- dan digital yang lebih dikenal sebagai IP Camera, di mana IP Camera ini tidak harus lagi colok kabel ke DVR melainkan bisa dipantau lewat internet dan punya basis penyimpanan data di internet yang disebut NVR.
Saya menangani bidang IP Camera, padahal saya sama sekali tidak punya latar belakang IT dan hanya suka berkutat dengan komputer. Banyak hal baru yang harus saya jalani untuk mendukung pekerjaan ini, termasuk kursus selama tiga hari di bidang jaringan internet.
Selain mengurusi IP Camera, saya juga membantu bos dalam hal komunikasi lewat email dengan atasan di Taiwan. Bos minta hal itu karena beliau menganggap saya lebih pintar dalam bahasa Inggris. Jadi setiap kali ada pesanan dari pelanggan atau permasalahan yang saya kurang paham, saya menghubungi pihak atasan. Terkadang bukan hanya lewat email, kami juga kontak lewat Skype dan bahkan terkadang lewat TeamViewer, yaitu sebuah aplikasi jarak jauh yang bisa mengendalikan komputer orang lain sejauh keduanya mengaktifkan aplikasi ini dan ada kode akses yang diberikan.
Terkadang bila tidak sedang sibuk, saya ikut dengan para karyawan lain yang memasang kamera di tempat-tempat tertentu. Mereka berangkat dengan mobil pada pagi hari dari kantor dan bisa baru pulang pada sore hari sebelum kantor tutup jam 4:30. Saya melihat bagaimana kamera pengawas dipasang, yaitu melibatkan pengeboran dinding, pembukaan plafon, penaikan tangga, pemasangan kabel, dan akhirnya pemasangan kamera di titik yang sudah disetujui dengan pelanggan.
Kalau kita berbicara harga, produk dari Taiwan memang lebih mahal dari produk buatan China / Tiongkok. Namun harga yang lebih tinggi ini diimbangi dengan kualitas mumpuni. Saya sudah melihat perbandingannya dengan produk terbaik dari Tiongkok, dan hasilnya memang produk Taiwan ini lebih baik. Memang kamera dari Taiwan ini belum banyak dikenal orang dan sulit ditemui di pasaran, termasuk di mall, karena kami sedang merintis usaha ini saat itu.
PERSAINGAN BURUK
Saya juga melihat persaingan yang tidak baik dalam bisnis CCTV. Ada kompetitor yang berusaha mengubah spesifikasi yang diinginkan pelanggan agar produk merekalah yang dipakai. Yang mereka tekankan adalah spesifikasi dari mereka dengan harga murah, padahal kualitasnya belum tentu bagus.
Celakanya, pelanggan tidak mengerti apa-apa tentang perbandingan harga dan kualitas CCTV. Inilah yang dimanfaatkan oleh para kompetitor yang tidak baik itu. Pantas saja dalam beberapa kali pertemuan untuk dengar pendapat (istilah mereka adalah penyamaan persepsi), spesifikasi yang mereka butuhkan terdengar berbeda dari waktu ke waktu. Atasan kami yang membantu pun jadi heran mengetahui keadaan ini.
Pendek cerita, kami terdepak dari persaingan dengan cara yang tidak baik, hanya karena produk dan solusi pengawasan yang kami tawarkan harganya lebih mahal – solusi yang kami tawarkan mengikuti saran dari atasan, dengan kualitas kamera yang bagus dan juga tidak rumit-.
Terkadang kita harus mengganti sesuatu berulang kali, termasuk CCTV, dalam jangka waktu pendek karena kualitasnya tidak bagus, karena kita terburu nafsu membeli barang murah, dan ujung-ujungnya biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada membeli barang serupa yang kualitasnya bagus sekali yang jarang diganti. Ini berlaku juga dalam hal CCTV.
KUNJUNGAN DARI TAIWAN
Suatu kali atasan berkunjung ke Jakarta. Bos dan saya menemui mereka, mengingat saya dibutuhkan sebagai interpreter. Tak disangka orang Taiwan tinggi juga, namun mereka merendah saat berbicara dengan membuka sedikit kedua kaki mereka; bagi kita ini kelihatan aneh karena kita mungkin akan merunduk, namun itulah kebiasaan mereka. Sebagai interpreter saya menyampaikan apa yang dikatakan bos kepada atasan dalam bahasa Inggris dan juga sebaliknya dalam bahasa Indonesia.
Anehnya, dalam suatu perjalanan saat pulang makan siang bersama, bos mengobrol dengan mereka dalam bahasa Mandarin yang saya tidak paham sama sekali.
Sesudah dua hari mereka kembali ke Taiwan. Kami tetap berkomunikasi via email dan/atau Skype untuk merundingkan permasalahan bila saya sudah mentok.
PERMASALAHAN
Kendala pemasaran CCTV Taiwan ini adalah harganya yang lebih tinggi dari CCTV Tiongkok dan mereka belum punya nama di Indonesia, termasuk di Jakarta. Saya juga bingung bagaimana memasarkannya, sebab saya tidak punya background pemasaran dan saat itu media sosial belum begitu booming seperti sekarang. Seandainya sudah ada platform jual beli online pun, harganya masih tergolong tinggi dan akan sulit diminati.
AKHIR PEKERJAAN
Apapun yang terjadi saya mensyukuri bisa terlibat dalam bisnis CCTV ini. Selama setahun bekerja, pendapatan saya cukup untuk membeli sebuah laptop pada tahun itu (2011), yang masih saya pakai hingga sekarang walau kondisinya sudah tidak lagi prima. Saya juga mendapatkan banyak pengalaman berharga, termasuk ketika bertatap muka langsung dengan para atasan. Selain itu saya jadi sedikit memahami jaringan internet, jenis-jenis kamera, cara memasangnya, dan sebagainya. Pendeknya saya mengalami banyak perkembangan di sini.
Yang saya kurang suka adalah persaingan bisnis yang tidak baik, seperti yang sempat saya jabarkan sebelumnya. Saingan ‘menyikut’ kami dengan memanfaatkan ketidakpahaman pelanggan tentang CCTV dan mengubah keinginan mereka agar produk dari saingan yang dibeli. Begitu kamera rusak/bermasalah pelanggan harus beli baru kepada mereka, sedangkan kami menawarkan perbaikan walau range harga kamera kami lebih tinggi dan kualitas kamera kami lebih baik.
Selain persaingan yang kotor dari pihak luar, kadang saya tidak selalu sependapat dengan teman sekerja. Ada berbagai tipe orang di kantor, walau kami hanya berenam; yang baik ada, begitu pula yang menyebalkan juga ada. Dan sedihnya kami harus kehilangan satu-persatu orang sehingga akhirnya sebelum saya kembali kuliah hanya tersisa dua orang selain saya.
KEMBALI KULIAH
Sayangnya tahun 2012 saya harus masuk kuliah lagi. Jatah cuti saya sudah habis dan saya harus kembali. Semua pengalaman ini begitu berharga dan tidak pernah saya lupakan. Saya yakin semua ini ada manfaatnya untuk masa depan, walau belum terasa betul saat ini tetapi nanti pasti akan terpakai mengingat zaman sekarang semakin banyak pekerjaan membutuhkan kemampuan bahasa Inggris untuk go international.
Semenjak kembali kuliah, saya jarang membantu usaha ini secara full-time seperti dulu. Saya lebih fokus kuliah dan jarang mampir ke kantor.