Sebenarnya, aku menjadi marketing di lingkungan kerja yang satu ini tanpa sengaja. Dua tahun lalu, aku menemani mamaku bertemu salah satu teman sekolah semasa SMA. Kudengar percakapan mereka tentang pembuatan cafe baru di kota tempatku tinggal saat ini.
Disclaimer
Semua tokoh dan penyebutan nama dalam pengalaman kerja saya dibawah ini menggunakan nama samaran.
Awal Mula Bergabung
Berhubung aku lulusan perhotelan, di akhir pertemuan aku memberikan sedikit usulan tentang cafe tersebut.
Eh, ternyata, Pak Sakti teman mamaku itu malah tertarik merekrut ku menjadi salah satu rekan kerjanya untuk usaha cafe ini, karena dia dan karyawan lainnya sangat awam di bidang FnB.
Janji yang dibuatnya sangat manis di awal, dia bilang aku menjadi salah satu pendiri cafe, ikut dari awal, maka aku dijadikan leader olehnya.
Timku bermula dari tiga orang: dua temanku dan aku. Pak Sakti selalu berkata bahwa kandidat manajer nantinya akan dari kami bertiga (terakhir kutahu bahwa Pak Sakti bilang pada mamaku bahwa aku akan menjadi manajer nantinya), maka kami harus berupaya bersaing secara sehat.
Sebulan pertama, kami dibiayai oleh perusahaan untuk melakukan riset di 4 kota besar. Perusahaan, katanya sangat mengharapkan ide-ide kreatif kami (belakangan, kreativitas kami sangat disetir dan dibatasi).
Pada bulan pertama ini, bekerja sangat menyenangkan dan damai tanpa ada masalah yang berarti. Aku dan teman-temanku berusaha sebaik mungkin menyusun laporan dan mencurahkan ide-ide kami untuk cafe.
Di akhir bulan pertama, kami mengadakan meeting di kantor pusat yang ada di Jawa Barat. Kantor ini sebenarnya bukan untuk usaha cafe, karena si bapak memiliki usaha di bidang IT.
Di meeting pertama inilah kami bertemu dengan Bu Okta, seseorang yang membuat semuanya berubah. Bukan bermaksud menjelek-jelekkan mantan perusahaan dan mantan bos, ya. Namun, kalau sudah begitu adanya, apa boleh buat, kan?
Mulai Tampak Keganjilan Pada Manajemen
Kesan pertama kami terhadap Bu Okta tidak baik. Kentara sekali kalau dia ingin tampak tinggi, selalu benar, suka meremehkan dan jelas tidak paham seluk beluk usaha cafe dan sejenis itu. Modalnya hanya satu: dia suka ikut kursus masak, makanya dia dilibatkan dalam proyek cafe ini.
Hmm, belum tampak ada yang mencurigakan. Kami bertiga masih berpikir, “oh, mungkin memang begini yang namanya perusahaan itu …”
Selesai riset dan meeting selama tiga minggu, kami kembali ke kota tempat kami akan mengembangkan proyek cafe ini. Kesibukan demi kesibukan datang dan kami masih menikmatinya.
Sampai suatu ketika ada barang kiriman dari kantor pusat: peralatan memasak yang sebenarnya tidak dibutuhkan cafe. Kami bertanya kenapa dikirimi barang-barang tersebut, tapi Pak Sakti malah menyalahkan kami karena tidak memberikan daftar spesifikasi yang dibutuhkan.
Hmm, padahal ketika dia akan membeli barang-barang tersebut juga kami tidak tahu apa-apa. Ya, sudahlah. Namanya juga kami sebagai pegawai.
Hari-hari berlalu dan semakin banyak keanehan dan kejanggalan yang kami temukan. Mulai dari peraturan perusahaan yang tidak sesuai UU yang ada, sampai ketidaktahuan karyawan-karyawan lain di kantor pusat tentang proyek ini dan keterlibatan Bu Okta di dalamnya.
Setiap rekan kerja yang kami kenal, justru menuturkan keheranan mereka, “kenapa Bu Okta terlibat di sini? Kan, dia hanya freelancer saja di kantor pusat, bahkan bukan bagian dari manajemen.”
Timku hanya tersenyum dan masih berusaha berpikir positif. Ya, mungkin Bu Okta memang pekerja keras dan keahliannya di bidang keuangan dibutuhkan di sini.
Nyatanya, pemikiran kami yang berusaha baik-baik itu tidak bisa bertahan lebih dari tiga bulan. Banyak kekesalan yang sebenarnya tidak cukup untuk diceritakan di sini.
Permintaan menu aneh-aneh yang ribet dan tidak sesuai konsep cafe selalu dilontarkan Bu Okta ke grup, dan dia menuntut kami untuk mencobanya.
Pak Sakti? Selalu berusaha melindungi Bu Okta apabila kami nampak tidak suka dengannya. Selalu ada alasan dari Pak Sakti untuk membuat kami memaklumi Bu Okta.
Mulai dari cara bicaranya yang kasar (dia bandingkan dengan cara bicara orang Medan, yang jelas sekali berbeda) atau bahwa Bu Okta itu perfeksionis (untuk memaklumi bahwa kemauannya harus selalu dituruti).
Bulan demi bulan, tim kami bertambah menjadi empat orang, namun salah satu tim lamaku justru memilih resign karena sudah tidak bisa memaklumi sikap Bu Okta yang memang menurut kami tidak profesional.
Hampir dua tahun kami merintis usaha ini dari awal, hingga akhirnya secara perdana cafe ini buka pada November 2019 (dengan jumlah karyawan sekitar 10 orang).
Kecakapanku berinteraksi dengan orang, membuatku dijadikan bagian marketing, namun kesibukanku mengurusi perizinan dan lain-lain sebelum cafe buka, dianggap hanyalah alasan sehingga aku tidak mengerjakan tugas-tugasku sebagai marketing.
(Padahal aku mengirimkan list rencana event atau acara untuk satu tahun ke depan juga diabaikan).
Bentukan manajemen cafe ini sangat aneh, karena Pak Sakti dan Bu Okta selalu menolak masukan dari kami (bahkan kami sempat diliburkan satu minggu karena tidak sependapat dengan mereka).
Padahal, mereka selalu menegaskan bahwa mereka tidak paham dengan usaha cafe, dan kurasa, bukankah itu awalnya aku direkrut untuk kerja di sini?
Well, mereka ingin membuka manajemen cafe baru sesuai keinginan mereka dan mengabaikan sistem cafe yang sesungguhnya (aku sampai minta pendapat beberapa manajer cafe kenalanku, dan semuanya dibantah mentah-mentah oleh duo atasanku itu).
Melepaskan Diri Dari Lingkungan Kerja yang Amburadul
Pengalamanku menjadi marketing? Setelah hampir dua tahun menjadi pekerja serabutan di pengembangan proyek ini (hrd, finance, operational, logistic, etc), aku menjadi marketing saat jelang cafe ini buka. Apakah pekerjaanku dan teman-temanku dihargai? Jelas tidak.
Pernah suatu ketika aku marah-marah di grup karena Pak Sakti memintaku membuat sebuah event yang sempurna dalam waktu kurang dari seminggu dan berharap pesertanya banyak :).
Bu Okta? Meminta harga menu cafe dinaikkan 15% dari harga yang sudah ada di menu, padahal dari angka modal awal, harganya sudah melonjak jauh sekali.
Setiap aku memberikan ide untuk markting, selalu dibantah, atau bahkan diabaikan oleh mereka. Namun, aku tidak lagi heran ketika ideku dipakai oleh Bu Okta dan dianggap itu adalah idenya dia
(Pak Sakti masih saja berusaha melindungi perempuan satu ini, dan terkesan menyalahkanku karna tidak bisa menjaga ideku sendiri).
Kebobrokan lainnya? Menjadi marketing berarti aku memiliki tugas yang berhubungan dengan konsumen cafe, jadi ketika ada saran atau kritikan masuk, maka komentar-komentar itu akan masuk padaku lalu kukirimkan ke departemen terkait.
Dan yang terjadi adalah … ketika aku menyampaikan keluhan konsumen pada departemen kitchen yang isinya orang-orang lebih tua dariku (sebut saja namanya Riko dan Alay) dan katanya lebih berpengalaman (sebagai tukang masak), mereka malah tidak terima serta justru marah-marah padaku.
Hal-hal tidak menyenangkan keluar dari ketikan mereka di grup kantor, mengataiku mencari kesalahan divisi lain ataupun malah bilang kerjaanku juga tidak benar :’)
Entahlah, hampir dua tahun aku bekerja di perusahaan ini, tapi terlampau banyak hal yang tidak menyenangkan terjadi. Salah satunya yang baru kejadian bulan lalu: lagi-lagi Bu Okta menyindir divisi marketing belum bangun tidur, sedangkan jam kerjaku adalah jam 10 pagi sampai 6 sore.
Sekali dua kali, kelakuannya yang seperti itu kudiamkan, tapi tidak untuk ketiga kalinya. Akhirnya, ku tegurlah dia untuk mengingatkan bahwa aku juga memiliki hak beristirahat.
Belum lagi, ketika Pak Sakti menegurku bahwa aku “mengabaikan grup” saat aku mengambil cuti. Ya, maaf, saat ku sodori UU ketenagakerjaan, dia malah ngeles dan tidak bermaksud menegur hak cutiku.
Ada lagi? Banyak! Justru hal-hal baru yang mengejutkanku, baru kuketahui setelah aku mengajukan resign.
Salah satunya: Bu Okta adalah selir dari Pak Sakti. Ups!
Pekerjaanku sebagai marketing di cafe ini berasa tidak ada gunanya, banyak hal yang tidak profesional yang kutemui dan sulit kuubah, karena rekan kerjaku sebodo amat dengan keadaan.
Lama-lama, kupikir pun, aku tidak akan bisa berkembang di perusahaan yang manajemennya amburadul begini. So, bye!
Mengenai Gaji yang Diterima
Kalau ada yang tanya, nyesel atau nggak, sih, keluar dari sana? Jawabanku pasti yakin: nggak! Meski gajinya di sana lumayan. Bisa dapat gaji total sekitar Rp3 jutaan di kota kecil itu wow banget, lah, bagi orang-orang.
Tapi, aku lebih memilih kesehatanku sendiri. Aku berhak juga, dong, punya lingkungan kerja yang sehat dan gak semrawut kayak yang ini. Ya, kan?
Angka 3 di awal slip gajiku sesungguhnya hanyalah angka kecil jika dibandingkan beban kerja dan beban mental yang harus dialami karyawannya.
Selain menghadapi atasan yang ngawur, rekan kerja yang tidak bisa diajak kerja sama, kita juga harus siap jadi jin yang bisa bangun 1000 candi dalam semalam.
Yah, semua sudah berlalu. Siapa tahu, keluar dari sana, justru aku menemukan lingkungan kerja yang sehat dan gajinya bisa menyamai, atau bahkan melampaui yang sebelumnya!